PURA BESAKIH
Pura
Besakih sudah termasyhur di seluruh dunia. Ratusan artikel dalam
berbagai bahasa sudah tersebar ke seluruh penjuru dunia melalui berbagai
media komunikasi. Ada yang menyebut, Pura Besakih sebagai”Ibu-nya semua
pura”. Sampai abad 21 ini, Pura Besakih memang yang terbesar. Siapa
yang meletakkan batu pertama dalam pembangunan pura ini ? Ternyata
beliau adalah seorang tokoh spiritual India yang lama hidup di Jawa.
Namanya Markandeya. Ada yang menambah kata Resi di depan namanya. Ada
pula yang memberikan julukan Bhatara Giri Rawang.
Pura Besakih adalah gugusan
86 buah pura. Kompleks Pura Besakih terdiri atas 18 buah pura umum, 4
pura Catur Lawa, 11 pura pedharman, 6 pura non-pedharman, 29 pura dadia,
7 pura berkaitan dengan pura dadia dan 11 pura lainnya.
Sebelum Pura Besakih berdiri
megah seperti sekarang, dahulu kawasan itu berupa hutan belantara.
Binatang buas masih banyak hidup di sana. Ketika itu juga belum ada
Selat Bali yang kini dikenal dengan nama Segara Rupek. Daratan Bali dan
Jawa dahulu kala konon masih menjadi satu, belum terpisahkan laut.
Itulah sebabnya, daratan ini (Bali dan Jawa) sering disebut Pulau Dawa. Nama itu diberikan mungkin lantaran daratan ini panjang. Sebagaimana kita ketahui, kata “dawa” berarti panjang.
Alkisah, sebagaimana dituturkan dalam Lontar Markandeya.
Berikut ini diuraikan secara ringkas nama-nama pura di kawasan Besakih.
Pura Pesimpangan
Sesuai dengan namanya, pura ini berfungsi sebagai tempat pesimpangan
(singgah) setelah umat kembali dari Melasti di Segara Klotok,
Klungkung. Piodalan di pura ini dilangsungkan pada hari Anggara Keliwon
Julungwangi.
Pura Dalem Puri
Pura ini terletak paling
selatan dari Pura Penataran Agung, dengan ketinggian sekitar 800 meter
dari permukaan laut. Di pura ini distanakan Bhatari Durga. Seusai
menggelar Pitra Yadnya yaitu Ngaben dan Memukur atau Ngeroras, umat Hindu biasanya tangkil ke pura ini, mendak nuntun Sang Pitara untuk distanakan di sanggah ataupemerajan
masing-masing. Di sekitar Pura Dalem Puri terdapat tanah lapang yang
dinamakai Tegal penangsaran. Disitu ada sebuah tugu kecil di sebelah
timur pura. Piodalan di pura ini pada hari Buda Kliwon Ugu, sedangn
setiap tahun pada sasi Kepitu penanggal 1,3 atau 5 diselenggarakan
upakara Yadnya Ngusaba Kepitu. Didalam pura inilah menurut suatu cerita,
Sri Jayakasunu menrima pewarah-warah atau sabda dari Bhatara Durga
tentang upacara Eka Dasar Rudra, Tawur Kesanga, Galungan, Kuningan dan
lain-lainnya.
Untuk mengetahui sejarah berdirinya, ada sejumlah sumber yang pernah diteliti. Menurut Lontar Padmabhuwana ada disebutkan, "Nihan
mulaning andhaping pulo Bali ring ulana, katama tekaning mangke, ma wit
duk ilahi 85, tatkala nira hi haji candrabhaya umadeg ratujumeneng sira
ring tampaksiring, irika wangun kahyangane ring basukih, makadi
cungkube ring dalem puri, ika purane katih, rvmaga puseh miwah dalem,
maka huluning bumi bali. Ikang makalingga cinandi ring parhyangan ring
basukih, tan hana waneh sira paduka bhatara sanghyang anthaliwaditya,
bapa akasa, metu sira saking pancaksara, umungguh ring tehnging
padmabhuwana, makaksara YANG witning akasa. Muwah ikang makalinggasthana
cungkub dalem puri, strata sanghyangning basukih, hyang Iiwagni, ibu
pertiwi, wetu sira saking pancabrahma, umungguh ring jero padmabhuwana,
makaksara ING mawitning ibuprtiwi."
Artinya:
"Inilah asal mulanya Pulau
Bali pada zaman dahulu, yang berada sampai sekarang, dimulai ketika
tahun 1085 Çaka (II63 M), ketika itu beliau raja Çri Candrabhaya menjadi
raja dan berkeraton di Tampaksiring, ketika itu berdirilah Pura
Besakih, dan sebagai Pura Setra adalah Pura Dalem Puri, kedua pura itu
berwujud Puseh dan Dalem, sebagai pemujaan bumi Bali. Yang dilinggihkan
di Pura Besakih, tiada lain adalah beliau Bhatara Sanghyang
Anthaçiwaditya, Haji Akasa. Beliau muncul dari pancaksara (nang, mang,
sing, wang, yang), bersthana di pusatnya bagian atas (urdhah) dari
padmabhiiwana, diwujudkan dengan wijaksara YANG yaitu asalnya akasa.
Selanjutnya yang bersthana di Pura Setra Dalem Puri, beliau adalah juga
Bhatara di Besakih, Hyang Çiwagni, Ibu Prtiwi, beliau muncul dari
pancabrahma (sang, bang, tang, ang, ing), bersthana di dalam
padmabhuwana, berwujud wijaksara ING yaitu asalnya Ibu Prtiwi."
Kemudian menurut Majalah Bhawanagara No. 1 Tahun 1930, yang diterbitkan oleh Kirtya Liefrinck van der Tuuk, termuat
artikel yang berjudul "Pura Besakih dengan Turutannya” yang ditulis
oleh Ida Putu Maron, Lid Raad Kerta di Gianyar. Di dalam artikel itu
antara lain disebutkan :
"Pada zaman purbakala
setelah Prabu Mayadanawa, dikalahkan oleh Batara Indra, kira-kira
sesudah Sri Empu Kuturan dapat membangunkan beberapa pura di Bali dengan
disertai beberapa peraturan desa untuk kegunaan memelihara pura itu,
kemudian adalah Ksatrya Utama turunan raja, yaitu Wisnuwangsa-kula dari
Daha Jawa Dwipa, bernama baginda Sri Wira Dalem Kesari turun mendatangi
Pulau Bali bertakhta raja di Kahuripan (bumi Besakih), pamerajannya
bernama Pamerajan Selonding, membuat Dalem di Pura Dalem Puri”.
Di bagian lain dari artike) itu menyebutkan:
“Perihal wali di Pura Dalem Puri, pada hari tilem bulan KepituT diadakan
selamatan Ngusaba, nama Batara tidak discbutkan, jika menilik mantra
pangastawa yang didoakan oleh Padanda-padanda pada ketika Karya
Pamelaspas tersebut di atas (tanggal 1-2 April 1928) yaitu mandra
Durgastawa, jadi kalau begitu teranglah Batari Durga yang didudukkan di
situ.*' (Bhawanagara, No, 1, 1930, hal 21-23).
Menurut hasil penelitian
yang dilakukan Institut Hindu Dharma Denpasar, kedua sumber sekunder ini
mempunyai beberapa kelemahan. Lontar Padmabhuwana tersebut
mempunyai kelemahan historiografi dan penguraiannya secara mistis, namun
hal itu dapat diterima ditinjau dari segi pandangan kosmis, Artikel
pada majalah Bhawanagara tersebut tidak menunjuk sumber sebagai
dasar penulisannya. Kendatipun demikian, namun untuk sementara, sebelum
sumber primer dijumpai, maka informasi tersebut di atas perlu
diperhatikan.
Nama Pura Dalem Puri berarti
Pura Dalem Kerajaan, karena pengertian Puri berkaitan dengan raja atau
kerajaan. Dengan demikian maka hubungan pura itu dengan raja atau suatu
kerajaan, sudab jelas. Namun muncul pertanyaan, raja siapa yang
mendirikannya dan untuk apa pura itu didirikan?
Di dalam artikel Ida Putu
Maron tersebut di atas, disebutkan bahwa Pura Dalem Puri dibangun oleh
raja Sri Wira Dalem Kesari. Beliau seorang ksatria dari Daha-Jawadwipa
yang bertakhta di Kahuripan (bumi Besakih). Istilah Sri Wira Dalem
Kessri berani raja yang gagah berani bagaikan singa (kata kesari =
singa). Sifat singa adalah pemberani, ganas dan mampu mengalahkan
binatang lain, sehingga ia merajai binatang (pasupati). Sifat berani dan
ganas, menunjukkan suatu sifat jaya, sedangkan merajai binatang yang di
dalam bahasa Sansekerta disebut pasupati menunjukkan suatu sifat sakti.
Dengan analisa ini, maka
raja yang bernama Sri Wira Dalem Kesari itu besar kemungkinannya adalah
raja Jayasakti yang datang dari Kediri Jawa Timur, karena kata Daha
berarti Kediri. Mengenai kedatangan Jayasakti ke Bali, disebutkan di
dalam prasasti Sading B (tipe tinulad) sebagai berikut :
"Içaka 1072 cetramasa titi
dwadaçi çukla paksa, tang, ping, 12, warani julungpujut, irika nira
paduka çri maharaja jayaçakti umahemana para senapati makadi
rakryanapatih umingsor i tanda rakryan ri pakirakiran inayun alunga
mareng banwa ing bangsul, kalawan strinira akadatwana pwa sira aneng
gunung adrikarang.
Sangkaning turuna sira apan
hana pakwaning yayahira sanghyang guru, donya gumawyana dharmma rikang
gunung lampuyang, maka karahaywaning jagat bangsul karuhun, iniringaning
sawatek mpungku çewaçogata batamantri tumut. Irika sang çri jayaçakti
kanaratwaken dening sarat. Tan kapingging pwa sira rinatwakan apan sira
bhawalaksana tekeng aji tan kewran pwa sira dening mohang murkeng citta
mwang lobengambek rikeng rat. kabrtyanya tuhu matowang, apan sira ratu
cakrawarti, apan sira ratu jayeng bharata, paramartha sira.
Hana pwa caranira makadi
sabrtya makweh tan kneng winilang, kewalya mantrinira juga hetungen
binata kwehnya dwang bangsit katekeng parajurit jawa, inarana pwa sang
prabhuraja bima, nga, çri jaya, nga, çri jaya, nga, çri genijayaçakti…". (Turunan prasasti Sading, koleksi Ida Padanda Gede Pamaron di Munggu).
Artinya:
"Tahun Çaka 1072 (1150 M)
sasih Kasange pananggal 12, wuku Pujut, ketika itu maharaja Jayasakti
merapatkan para pimpinan tentara terutama Rakryan Patih dan yang berada
di bawah Rakryan Patih; di dalam paruman itu (raja Jayasakti)
berkeinginan pergi mendatangi Pulau Bali, disertai istrinya; membuatlah
beliau istana di Gunung Adrikarang. Mengapa beiiau datang ke Bali,
karena perintah dari ayah beiiau yang bergelar Bhatara Guru; tujuan
beliau membangun tempat pemujaan di gunung Lempuyang, adalah untuk
keselamatan bumi Bali kemudian; beliau diiringi oleh segenap pendeta
Çiwa dan Buddha, juga para menteri ikut mengiringinya. Di sana raja
Jayasakti dinobatkan menjadi raja oleh masyarakat. Tidak canggung beliau
dijadikan raja, oleh karena beliau cakap dalam pengetahuan, tidak
disusahkan oleh pikiran angkara murka serta pikiran loba di masyarakat,
para abdinya sungguh-sungguh menghormatinya, oleh karena beliau raja
besar, telah berhasil dalam bharata, sempurnalah beliau. Pelayan dan
abdinya banyak tidak dapat dihitung, hanya para Menterinya saja yang
dihitung banyaknya 400 termasuk tentara Jawa; beliau digelari Sang
Prabhu Maharaja Bima, atau Çri Bayu, atau Çri Jaya, atau Çri
Genijayasakti…."
Menurut penelitian Dr. R.
Goris, bahwa masa pemerintahan raja Jayasakti di Bali malahan lebih awal
dari tahun 1150 M dan prasasti-prasasti yang berhubungan dengan
pemerintahannya di Bali antara lain adalah :
- Prasasti Manik Liu D (1055 Çaka)
- Prasasti Bwahan C (1068 Çaka)
- Prasasti Prasi A (1070 Çaka)
- Prasasti Campetan (1071 Çaka)
- Prasasti Sading B (1072 Çaka)
Dari isi prasasti-prasasti
itu, dapat diketanui bahwa raja Jayasakti berusaha mengendalikan
pemerintahan secara teratur di Bali. Dalam beberapa prasastinya, beliau
diberi pujian yang berbunyi: "kadi sira prabhu suksat harimurti"
(sebagai raja beliau bagaikan Dewa Wisnu). Ketika beliau memerintah di
Bali, di Kediri-Jawa Timur memerintahlah raja Jayabhaya (1135 – 1157 M).
Hasil penelilian dari Proyek
Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, 1978 mengatakan, pengganti
raja Jayasakti adalah raja Ragajaya yang memerintah tahun 1155 M.
Prasasti raja Ragajaya dijumpai di Desa Tejakula, Buleleng. Di Desa
Subaya, Kintamani, juga ditemui prasasti dari raja Ragajaya yang diduga
bagian dari prasasti Tejakula.
Pengganti raja Ragajaya
adalah raja Jayapangus yang memerintah di Bali dari tahun 1177- 1181 M.
Menurut uruian pemerintahan raja-raja Bali Kuna hingga sekarang.
Jayapangus adalah pengganti Ragajaya, dengan catatan masih terbentang
masa kosong selama 22 tahun antara kedua masa pemerintahan raja
tersebut. Apabila selama masa kosong itu tidak ada, raja lain yang
memerintah, maka dapat diperkirakan bahwa Jayapangus besar
kemungkinannya putra dari Ragajaya.
Mengapa prasasti dari
Ragajaya hanya sebuah? Besar kemungkinannya masa pemerintahannya sangat
singkat, karena beliau keburu wafat dan ketika itu Jayapangus masih
kecil. Maka terjadilah masa kosong dalam pemerintahan. Jayapangus adalah
raja besar di Bali dan beliau bergelar Çri Maharaja Haji Jayapangus.
Sampai kini telah ditemui 43 buah prasasti yang dikeluarkan oleh
Jayapangus. Dalam salah satu prasastinya beliau disebut: "…pinaka tapatraning bhuwana satungkeb balidwipa mandala."
Masa pemerintahan Jayapangus
sangat singkat yaitu hanya 4 tahun dan pengganti beliau mungkin sekali
putranya yang bernama Çri Maharaja Haji Ekajaya Lancana yang memerintah
tahun 1200 M. Prasastinya dijumpai di Kintamani yang dianugrahkan kepada
"karaman Cintamani".
Nama Ekajaya Lancana
berarti: memakai tanda Jaya yang tunggal atau Jaya yang murni. Apakah
tidak mungkin raja ini yang disebut (Çri Haji Jayakasunu dalam lontar Jayakasunu ? Kemungkinan
itu selalu ada. karena raja Jayapangus pada masa pemerintahannya
singkat sekali. Ketika beliau wafat, putranya Ekajaya Lancana masih
kecil dan baru dinobalkan menjadi raja pada tahun 1200 M setelah berumur
19 tahun. Setelah Ekajaya Lancana. Bali diperintah oleh raja dinasti
lain yang bergelar Çri Adukuntiketana. Sayang sekali nania Çri Haji
Jayakasunu tidak dijumpai di dalam prasasti, namun disebut-sebut dalam
pustaka lontar.
Dalam lontar Kutara Kandha Dewapurana Bangsul, ada dikemukakan sebagai berikut:
"…nyata inaweh hhaiara
tanayanira makahehan wawu mijil dewata nawasangha, hanuhun sanakira
kaheh, inasung pasajnanira swang-swang, kang panghulu sajna sanghyang
ghenijayaçakti. bayuçakti, jayaçakti, samangkana pasamodhayaning
pasajnanira, tahun mahaçokti wiçesaning sarwwa dewata sira.
Kunang ikang arinira pasajna sanghyang putrajaya, sanghyang mahadewa pasenggahanira muwah,… (Padanda Gede Pamaron, 5b).
Artinya :
"…sekarang dianugrahilah
sekalian putra Bhatara yaitu Dewata Nawangsangha yang baru muncul,
menyembahlah putra beliau sekalian, diberi nama masing-masing, yang
sulung diberi nama Sanghyang Ghenijayasakti, Bimasakti, Bayusaksi atau
Jayasakti, demikianlah itu semuanya adalah nama beliau, sesungguhnya
beliau amat sakti dan saktinya segala dewata. Adapun adik beliau bernama
: Sanghyang Putrajaya, Sanghyang Mahadewa sebutan beliau yang lain….”
Di bagian lain dari lontar itu menyebutkan bahwa Sanghyang Putrajaya menjadi dewa di Gunung Agung.
Walaupun keterangan dalam
rontal ini bersifat legenda, namun menarik darisegi analisis sejarah.
Nama Ghenijayasakti, Bimasaksi, Bayusakti dan Jayasakti ada persamaannya
dengan nama-nama yang tersebut dalam prasastra Sading. Selain itu nama
Putrajaya mengandung pengertian yang sama dengan nama Jayakasunu, karena
kata “kasunu” berarti “putra”.
Di dalam lontar Jayakasunu disebutkan
bahwa Çri Haji Jayakasunu bersamadhi (Dawasraya) di Pura Dalem Puri.
Beliau merasa takut menjadi raja, karena raja-raja sebelumnya umumnya
pendek. Di dalam Samadhi itu Çri Haji Jayakasunu mendapat pawisik (suara
gaib) dari Bhatari Durga di Pura Dalem Puri, bahwa mengaparaja-raja di
Bali sangat pendek umurnya, karena raja-raja itu melupakan merayakan
Hari Galungan dan memasang penjor. Atas pawisik itu maka Çri Haji
Jayakasunu, menghidupkan kembaliperayaan Hari Galungan yang sebelumnya
tidak mendapat perhatian dari raja leluhurnya.
Beberapa sumber sastra
menyebutkan, bahwa perayaan Galungan muncul sejak zaman Kediri dari Jawa
Timur. Prasasti Bali Kuna yang dikeluarkan sebelum pemerintahan Ekajaya
Lancana, tidak banyak menyebutkan upacara-upacara keagamaan, sedangkan
prasasti yang dikeluarkan oleh Ekajaya Lencana banyak menyebutkan
upacara-upacara keagamaan.
Jika Ekajaya itu benar-benar
Jayakasunu yaitu keturunan dinasti Jaya dari Kediri, maka besar
kemungkinan bahwa upacara Galungan dikembangkan di Bali oleh raja Çri
Haji Jayakasunu dengan mengambil tradisi yang berlaku di Kediri Jawa
Timur. Berdasarkan keterangan dan pemikiran itu, maka dapatlah diambil
kesimpulan, bahwa Pura Dalem Puri didirikan oleh raja Jayasakti yang
bergelar Çri Wira Dalem Kesari sekitar tahun 1150 M dalam hubungan
pembangunan Pura Besakih yang telah diperluas oleh Empu Kuturan,
berdasarkan keterangan dalam pustaka rontal Empu Kuturan.
Fungsi dan Status
Fungsi Pura Dalem Puri dapat disimak dalam lontar Padmabhuwana dan Jayakasunu yang menyebutkan pawisik Bhatari Durga kepada Çri Haji Jayakasunu mengenai pentingnya perayaan Galungan.
Keterangan lontar Padmabhuwana
bersifat mistis yang memaparkan hubungan Pancaksara dengan Pancabrahma.
Yang disebut Pancaksara adalah : Nang, Mang, Cing, Wang, Yang. Yang
disebut Pancabrahma adalah : Sang, Bang, Tang, Ang, Ing.
Di dalam cosmos, ING adalah nadir yaitu :
prtiwi dan YANG adalah zenith yaitu : akasa. Di dalam Durgastawa,
prtiwi adalah Durga dan di dalam Çiwastawa akasa adalah Çiwa. Durga
berasal dari kata dur artinya sukar dan ga artinya jalan. Durga berarti
sulit dijalani atau sulit didekati. Dengan demikian, maka tempat
pemujaan beliau disebut Pura Dalem yang artinya tempat suci yang sangat
dalam (dalam arti esensial). Durga nama lainnya : Singhawahini, Kalika,
Semasana dan Bhairawi. Ini adalah aspek Çiwa dalam krodha. Dalam hal
inilah Çiwa melakukan praline. Makaitu Pura Dalem di dalam Kahyangan
Tiga, selalu berdampingandengan setra.
Pura Dalem Puri seperti
sudah dikemukakan adalah tempat memuja Dewi Durga yaitu unsur pradhana
dari Dewa Çiwa yang dipuja di Pura Besakih. Letak Pura Dalem Puri di
sebelah barat daya Desa Besakih, memberikan petunjuk pula bahwa pura itu
sebagai sthana Dewi Durga. Karena arah barat daya di dalam mistik
disebut Krodhadesa yaitu tempatnya Durga atau Rudra.
Kenyataan sekarang, bahwa
Pura Dalem Puri tidak berdampingan dengan setra melainkan berdampingan
dengan Tegal Penangsaran. Mengapa ? Jawabannya adalah bahwa Desa Besakih
mempunyai dua buah setra yang letaknya jauh di sebelah utara Pura Dalem
Puri dan setra yang satu lagi letaknya di sebelah timur Pura Besakih.
Kedua setra itu tidak mempunyai Pura Dalem dan masyarakat Besakih
menganggap tidak perlu lagi membuat pura itu karena sudah ada Pura Dalem
Puri yang nguwub (mewilayahkan) kedua setra itu.
Dahulu, di Bali ada tradisi
bahwa setra untuk keluarga raja terpisah dengan setra untuk masyarakat
biasa. Besar kemungkinannya, Tegal Penangsaran di sebelah Pura Dalem
Puri, di zaman dahulu adalah setra tempat pabasmian (pembakaran
jenazah) keluarga raja Çri Wira Dalem Kesari yang berkeraton di
Besakih. Hal itu dibuktikan pula dengan adanya Pamerajan Selonding.
Keturunan raja Çri Wira
Dalem Kesari, berpindah keratin dari Besakih ke tempat lain. Oleh karena
itu, setra tempat pabasmiannya tidak ada lagi yang menggunakan, karena
rakyat tidak berani memakainya, apalagi sudah mempunyai setra sendiri.
Tanah lapang di sebelah timur Dalem Puri disebut Tegal Penangsaran.
Istilah Tegal Penangsaran mengingatkan kepada roh-roh manusia yang
beristirahat sebelum mmasuki neraka atau sorga. Di sana ada sebuah pohon
yang disebut pohon curiga, yang berdaun keris. Apabila ada roh yang
memiliki banyak dosa, maka daun pohon itu jatuh dan mengenai anggota
tubuh roh yang ada di bawahnya.
Ada pula kepercayaan, umat
Hindu nunas pitra ke Pura Dalem Puri, setelah selesai melakukan upacara
Pitrayadnya Ngaben. Konon, roh dari keluarga mereka yang diabenkan itu
patut dimohon ke Pura Dalem Puri untuk dilinggihkan di
sanggah/pamerajan. Mengapa ada kepercayaan semacam ini, sukar diketahui,
karena hal itu didasarkan keterangan dari balian takson (maluasang).
Sebelum diketahui sumber
sastranya, maka suatu asumsi dapat diambil, bahwa adanya kepercayaan
mamendak atau nunas pitra ke Dalem Puri yang dilakukan oleh beberapa
keluarga di Bali, mungkin pada mulanya, leluhurnya yang menggelar Pitra
Yadnya ngiring raja/keluarga raja Çri Wira Dalem Kesari yang melakukan
upacara Pitra yadnya di Dalem Puri.
Pura Dalem Puri adalah
bagian tak terpisahkan dari Pura Besakih, baik mengenai fungsinya maupun
mengenai pendiriannya, karena raja Jayasakti yang bergelar Çri Wira
Dalem Kesari memperbesar Pura Besakih dengan pura-pura yang menjadi
bagiannya.
Pura Manik Mas
Pura ini merupakan Kahyangan
Dewi Pertiwi atau disebut juga Sang Hyang Giriputri (Saktinya Siwa).
Piodalannya pada hari Saniscara Keliwon Wariga (Tumpek uduh).
Pura Bangun Sakti
Di pura ini distanakan
Triantabhoga yaitu Hyang Naga Basukih, Hyang Naga Sesa dan Hyang Naga
Taksaka. Piodalannya pada hari Buda Pon Watugunung. Di pura inilah konon
Manik Angkeran dihidupkan kembali setelah beberapa lama wafat akibat
kesalahannya hendak mencuri emas yang ada di ekor Hyang Naga Basukih.
Manik Angkeran dihidupkan, berkat permohonan ayahnya yaitu Empu Sidhi
Mantra. Selanjutnya Manik Angkeran agar mengabdikan hidupnya di Besakih
dan tidak diperkenankan kembali ke Jawa. Agar tidak bisa pulang kembali,
Empu Sidhi Mantra memotong Pulau Dawa dengan tongkat sakitnya. Sejak
itulah, daratan di sebelah timur disebut Bali dan daratan di sebelah
barat disebut Jawa.
Pura Ulun Kulkul
Di pura ini distanakan Hyang
Mahadewa. Di sana ada sebuah kulkul dan sangat dikeramatkan. Dahulu,
setiap desa atau banjar membuat kulkul, kulkul itu harus dipelaspas dan
dimohonkan tirta di Pura Ulun Kulkul, agar memiliki taksu, yaitu ditaati
oleh krama desa atau karma pemaksan pura. Piodalan di pura ini jatuh
pada hari Saniscara Keliwon Kuningan atau tepat pada hari Raya Kuningan.
Saat upacarayadnya, semua bangunan pelinggih yang terdapat didalamnya
dihias dengan serba kuning.
Pura Merajan Selonding
Pura ini sering dihubungkan
dengan tradisi yang menganggap bahwa pura itu merupakan bekas merajan
dari seorang raja yang hidup pada zaman Bali Kuno yakni Sri Wira Dalem
Kesari. Keraton raja itu diduga terletak di sebelah selatan Pura Merajan
Selonding.
Sri Kesari Warmadewa,
seorang raja BaliKuno yang diperkirakan menurunkan raja-raja di Bali
Kuno yang dikenal dengan dinasti Warmadewa. Salah seorang diantaranya
adalah Udayana yang memerintah di Bali sekitar tahun 989-1022M.
Di pura ini ditemukan
gambelan selonding. Sedangkan di Pura Selonding yang terletak di Desa
Pecatu (Badung) tidak pernah ditemukan gambelan selonding. Kedua pura
ini diduga memiliki kaitan erat. Dugaan tersebut didasarkan pada
struktur bangunan dan pelinggih di Pura Selonding, dimana bangunan pokok
yang dianggap sebagai pelinggih utama adalah linggih untuk pemerajan
Ratu Gede Cakra Sari. Nama itu mungkin perubahan dari Ratu Gede Cakra
Kesari yang dapat dihubungkan dengan Sri Wira Dalem Kesari. Jika ini
benar, maka Pura Selonding Pecatu mempunyai latar belakang sejarah yang
sama dengan pura Merajan Selonding Besakih sehingga dapat diduga bahwa
kedua pura tersebut berasal dari zaman pemerintahan Sri Kesari Warmadewa
yang memerintah di Bali sekitar tahun 825 Çaka. Istana atau puri Dalem
Kesari Warmadewa di Besakih diberi nama Bumi Kuripan.
Raja Purana Besakih dalam
bentuk lontar yang sering disebut Prasasti Bredah disimpan di pura ini.
Demikian pula seperangkat gamelan Selonding. Dalam Lontar Catur
Muni-Muni ada dituturkan asal mulanya tabuh gamelan di Bali. Dikisahkan,
Bhagawan Naradha mengajarkan para pertama menabuh gamelan dengan
gamelan selonding. Sementara itu dalam Markandeya Purana ditegaskan
bahwa Resi Markandeya juga memakai nama Hyang Naradhatapa. Piodalan di
pura merajan Selonding dilangsungkan pada hari Wraspati Keliwon
Warigadian.
Pura Goa
Pura Gua merupakan tempat
pemujaan Hyang Naga Basuki. Dahulu kala, konon Dang Hyang SIdhimantra
tiap ke Besakih, mempersembahkan empehan (susu), madu dan telur kepada
Hyang Naga Basuki. Ditempat inilah Manik Angkeran memotong ekor Naga
Basuki, sehingga putra Sidhimantra itu dibakar jadiabu. Akantetapi Manik
Angkeran dihidupkan lagi setelah Sidhimantra (Ayah Manik Angkeran)
dapat memasang kembali ekor Naga Basuki lantaran tergiur dengan emas
berlian yang menyala di ekor naga. Menurut tutur tua-tua di sana, gua
itu tembus sampai ke Gua Lawah Klungkung. Hal itu diketahui secara
kebetulan. Suatu hari masyarakat menggelar sabungan ayam di Gua Lawah.
Salah seekor ayam lari masuk ke gua. Setelah dikejar, ayam itu keluar di
gua Besakih. Piodalan di pura Gua pada hari Buda Wage Kelawu atau Buda
Cemeng Kelawu.
Pura Banua
Di pura sini distanakan
BhataraSri dan hari piodalannya jatuh pada hari Sukra Umanis Kelawu. Di
sebelah timur pura ini, agak ke selatan, dahulu terdapat sebuah lumbung
padi untuk tempat menyimpan sebagian hasil sawah druwe Pura Besakih.
Namun kemudian, lumbung itu rubuh. Lumbung itu berfungsi sebagai sarana
permohonan untuk penginih-inih. Kata “penginih-inih berasal dari kata
“inih“ yang artinya irit. Jadi maksudnya, umat memohon agar dalam
pengelolaan harta kekayaan dapat dilakukan seekonomis atau seefisien
mungkin.
Pura Merajan Kanginan
Letak pura ini, di tepi
sebuah sungai menghadap ke selatan. Di sini distanakan Bhatara Rambut
Sedana dan terdapat pelinggih untuk memuliakan Empu Bradah dan Bhatara
Indra. Adapun piodalannya jatuh pada hari Saniscara Keliwon Kerulut atau
Tumpek Kerulut. Menurut informasi dari orang-orang tua di Besakih,
konon pura ini bekas merajan. Danghyang Manik Angkeran sewaktu beliau
menjadi pertapa di Besakih.
Pura Hyang Haluh (Jenggala)
Pura Jenggala sering juga
disebut Pura Hyang Haluh dan difungsikan segala Kahyangan Prajapati.
Mengapa disebut demikian ? Mungkin karena di sebelah selatan pura ini,
ada setra (kuburan). Tapi ada yang mengatakan, pura ini merupakan bekas
pertapaan tokoh spiritual Mpu Kulputih. Dalam cerita disebutkan, Mpu
Kulputih bertapa untuk mohon petunjuk, bagaimana cara melawan kelaliman
Raja Mayadenawa yang melarang umat melangsungkan upacara yadnya di
Besakih. Mpu Kulputih akhirnya mendapat petunjuk, yakni agar mohon
bantuan ke Jambudwipa (India). Sementaraitu, Bhatara Indra juga turun
dan membasmi Mayadenawa.
Tafsiran lain, ada yang
mengatakan pura Jenggala juga merupakan Kahyangan Melanting dan ada pula
yang memperkirakan semacam Pura Alas Angker. Di pura ini terdapat
beberapa patung batu kuno menyerupai seorang resi, garuda dan berbagai
bentuk lainnya. Patung yang disakralkan, dibuatkan pelinggih.
Pura Basukihan
Di pura ini Danghyang
Markandeya menanam pedagingan pancadatu (lima jenis logam dengan
kelengkapan upakaranya). Letak pura ini, di kaki Pura Penataran Agung
yaitu di sebelah kanan tangga (kalau kita sedang menaiki tangga) Pura
Penataran Agung. Pura ini memiliki pelinggih induk berupa meru tumpang
pitu. Perlu juga diketahui, Pura Basukihan, Pura Penataran Agung dan
Pura Dalem Puri adalah induk dari Kahyangan Tiga didesa-desa, yaitu Pura
Puseh, Pura Desadan Pura Dalem. Dari kelengkapan pelinggih-pelinggih
yang terdapat di masing-masing pura itu, demikian pula sastra-sastra
agama yang ada hubungannya dengan tata cara membangun suatu pura,
menunjukkan bahwa pura Basukihan itu adalah Pura Puseh Jagat, Pura
PenataranAgung berfungi sebagai Pura Desa Jagat dan Pura Dalem Puri
sebagai pura Dalem Jagat. Adapun yang distanakan di pura ini ialah Hyang
Naga Basuki. Hari Piodalannya jatuh pada hari Buda Wage Kelawu atau
Budha Cemeng Kelawu.
Pura Penataran Agung
Dalam Raja Purana Besakih
dikatakan bahwa pura ini adalah tempat pesamuaning bhatara kabeh
(pertemuan semua bhatara). Mungkin karena itulah, Pura Penataran Agung
merupakan yang terbesar dan terbanyak bangunan-bangunan pelinggihnya,
dan merupakan pusat dari semua pura yang ada di Besakih.
Pura Batu Madeg
Pura Batu Madeg letaknya di
belah utara Penataran Agung. Pura ini cukup luas, banyak memiliki
palinggih dan meru. Palinggih pokok adalah berupa meru tumpang 11, stana
Hyang Wisnu. Piodalan di pura ini dilangsungkan pada hari Soma Umanis
Tolu, Ngusabha Warigadian pada hari penanggal 5 sasih kelima dan Benaung
Bayu pada hari tilem sasih kelima.
Palinggih-palinggih di Pura antara lain :
1. Bebaturan tempat memuja Bhatara Gajah Waktra. Konon para pejuang kemerdekaan banyak yang bersamadhi di palinggih ini.
2. Bebaturan linggih Bhatara Batudinding.
3. Gedong palinggih Bhatara Pujungsari.
4. Meru tumpang 11 palinggih Bhatara Manik Bungkah.
5. Meru tumpang 11 palinggih BhataraBagus Babotoh.
6. Meru tumpang II palinggih Bhatara Sakti Batu Madeg (Hyang Wisnu).
7. Bebaturan Palinggih I Ratu
Kelabangapit, tempat masyarakat memohon keselamatan bila membuat empelan
(bendungan besar) dan memohon agar sawah-sawahnya tidak mengalami
kekeringan.
8. Meru tumpang 9 Pelinggih Bhatara Manik Buncing.
9. Meru tumpang 9 Palinggih
Bhatara Manik Angkeran yang dimuliakan oleh prati sentananya
(keturunannya) dan sekarang dikenal dengan sebutan Pinatih, sulang
dan Wayabya, di samping oleh Masyarakat umat Hindu umumnya.
10. Bale Tegeh Palinggih Lingga.
11. Bale Pesamuhan Agung tempat pemujaan umum di hadapan Hyang Wisnu.
12. Bebaturan Pelinggih Bhatara Sanghyang Batur.
13. Gedong Palinggih Sanghyang Kumpi Batur.
14. Enam buah Bale Pelik diantaranya terdapat tempat pemujaan pada Dukuh Suladri yaitu di Bale Pelik bagian Timur.
15. Bangunan-Bangunan Bale Pegat, Bale Gong, Bale Pewedaan, dan Candi bentar.
Bila melangsungkan karya
agung di Pura Besakih demikian pula pengaci di Pura Batu Madeg, semua
palinggih yang terdapat di pura ini dihias dengan warna serba hitam,
sesuai dengan warna Dewa Wisnu.
Pura Batu Kiduling Kreteg
Pura Kiduling Kreteg,
terletak di sebelah Timur sungai melalui sebuah jembatan. Pelinggih
pokoknya yakni Meru tumpang 11 stana Hyang Brahma. Selain disebut Pura
Kiduling Kreteg, pura ini juga kadang-kadang disebut Pura Dangin Kreteg.
Sebutan itu muncul mungkin karena pandangan yang berbeda, jika dilihat
dari Pura Penataran Agung. Ada yang menganggap, pura ini berada di
sebelah timur kreteg (jembatan) dan ada pula yang memandang di sebelah
selatan kreteg (jembatan). Memang bias dimaklumi, karena Pura Besakih
menghadap agak miring ke arah Barat berhadapan dengan Pura Luhur
Uluwatu, Badung. Pura Luwur Uluwatu dan Pura Besakih memang disebut
Hyang Hyangning Segara Ukir atau Hyang Hyangning Segara Gunung dalam
arti Pura Luhur Uluwatu berfungsi predana dan Pura Besakih Purusa.
Piodalannya jatuh pada
Anggara Wage Dungulan atau Penampahan Galungan. Sedangkan Aci Panyebab
Brahma diselenggarakan setahun sekali pada hari purnama sasih kaenem.
Aci Panyebab Brahma adalah upacara untuk memohon agar padi di sawah
tidak merana dan hangus kekeringan. Saat upacara di pura ini, semua
pengangge pelinggih berwarna merah sesuai dengan warna Dewa Brahma.
Pura Gelap
Pura Gelap berada di dataran
yang agak tinggi. Pelinggih pokok di pura ini berupa meru tumpang 3,
sebagai stana Hyang Iswara. Selain itu, ada juga sebuah Padma, Palinggih
Siwa Lingga, Bebaturan Sapta Petala, Bale Pewedaan dan Bale Gong.
Piodalan di Pura Gelap jatuh pada hari Soma Keliwon Wariga dan Aci
Pengenteg Jagat pada setiap hari Purnama Sasih Karo.Sesuai dengan
namanya (Aci Pengenteg Jagat), umat memohon agar diberi ketenangan,
kedamaian dunia. Tiap karya, semua penganggedi pura ini berwarna serba
putih, sesuai dengan warna Dewa Iswara.
Pura Pengubengan
Di pura ini, berdiri
pelinggih Pesamuhan Bhatara Kabeh sebelum Bhatara Turun Kabeh di
Penataran Agung. Pura ini letaknya di sebelah utara Pura Penataran
Agung. Di sini terdapat pelinggih pokk meru tumpang 11 di samping
balegong, bale pelik, piyasan. Di antara pura lainnya yang ada di
Besakih, letak Pura Pengubengan paling tinggi. Masyarakat bisa
mempersembahkan haturan-nya ke puncak Gunung Agung melalui Pura
Pengubengan ini. Piodalan di Pura Pengubengan jatuh pada hari Budha Wage
Kelawu.
Pura Batu Tirtha
Letak pura ini tidak jauh
dari Pura Pengubengan, yaitu di sebelah timurnya. Di pura ini terdapat
sumber tirtha yang dipergunakan bila ada karya-karya agung di Pura
Besakih ataupun karya-karya agung didesa pekraman, atau di merajan.
Piodalan di pura Tirtha jatuh pada hari Budha Wage Kelawu.
Pura Batu Peninjoan
Diberi nama Batu Peninjoan,
karena di pura inilah Empu Kuturan meninjau wilayah Desa Besakih yang
sekarang menjaditempat pelinggih-pelinggih di Pura Penataran Agung dan
sekitarnya. Dari pura yang memiliki sebuah meru tumpang 9 ini, Empu
Kuturan merencanakan pembangunan dan memperluas Pura Besakih. Ajarannya
tentang tata cara membangun pura, membuat pelinggih meru, kahyangan
tiga, berdasarkan aturan Asta Kosala Kosali sampai sekarang masih
dijadikan pedoman oleh umat Hindu. Setelah wafat, beliau tidak lagi
disebut Empu Kuturan, tetapi Bhatara Empu Kuturan. Beliau distanakan di
meru tumpang 9 di pura Peninjoan ini, selain di tempat-tempat lain
seperti di Silayukti (Padangbai-Karangasem). Dari Pura Peninjoan, semua
pelinggih di PUra Penataran Agung dapat dilihat dengan jelas. Selain
meru tumpang 9, pura ini juga dilengkapi dengan dua buah Bale Pelik dan
Piyasan. Piodalan di Pura Peninjoan dilangsungkan pada hari Wraspati
Wage Tolu.
Pura Besakih Tempat Penguasa Semua Penjuru Dunia
Pura Besakih sebagai
sentral, memiliki banyak legenda, serta mitologi lisan maupun tertulis.
Sastra sejarah seperti babad, usana dan purana cukup banyak mengungkap
hal itu.
Tokoh Hindu yang juga rajin
menggeluti sastra daerah, Ida Bagus Agastia dalam sebuah tulisannya
mengatakan, Rsi Markandeya disebut-sebut sebagai orang suci pertama kali
menanam panca datu sebagai dasar Pura Besakih. Pura ini memiliki
perjalanan panjang, pada perkembangannya kini menjadi pusat bagi
masyarakat Bali.
Cerita pengabdian penuh
bakti dari Sang Kulputih, seorang juru sapuh di Besakih, bias disimak
dalam lontar Sangkulpinge. Yang juga memiliki nilai sejarah adalah
usaha-usaha Mpu Kuturan yang kemudian dikenal sebagai pendiri Pura Sad
Kahyangan di Bali. Berikutnya, Mpu Bharadah (pandita Kerajaan Airlangga)
yang merupakan saudara kandung Mpu Kuturan, melanjutkan kembali
penataan Pura Besakih. Sebuah prasasti yang dinamai Mpu Bharadah yang
disimpan di Pura Batu Madeg Besakih, memuat tahun Saka 929 (1007 M).
Tahun itu diduga masa kedatangan Mpu Bharadah di Besakih.
Berikutnya kehadiran Dang
Hyang Nirartha (Dang Hyang Dwijendra) sebagai pandita Kerajaan
Gelgelzaman Raja Dalem Waturenggong—juga besar peranannya dalam menata
kemali kehidupan masyarakat Hindu di Bali. Termasuk kemudian menata
kembali kehidupan masyarakat Hindu di Bali. Termasuk kemudian menata
kembali Pura Besakih dan tata upacaranya. Dang Hyang Dwijendra pernah
menyarankan Raja Waturenggong untuk menggelar upacara Eka Dasa Rudra di
Besakih, sekalian dengan runtutan upacaranya sebagaimana kini kita
warisi.
Jika mengikuti langsung
pelaksanan upacara besar di Besakih seperti Eka Dasa Rudra (tiap 100
tahun) atau tawur sepuluh tahunan Panca Walikrama, barulah akan bisa
diketahui secara simbolis bahwa Besakih adalah madyaning bhuwana
(sentralnya dunia) sebagai tempat pemujaan Tuhan dengan segala
manifestasinya (kekuatannya) yang menguasai semua penjuru dunia, yakni
Iswara,Maheswara, Brahma, Rudra, Mahadewa, Sangkara, Wisnu, Sambhu. Ini
sesuai dengan konsep pengider-ider bhuwana.
Persembahyangan Dimulai di Pura Manik Mas
Untuk bersembahyang ke Pura
Besakih, sesungguhnya ada tata caranya. Selain didasari kesucian
lahir-batin, persembahyangan dimulai dari Pura Manik Mas. Setelah itu,
barulah ke pura lain. Tujuannya, menurut sejumlah sumber agar pendakian
spiritual lebih berhasil. Ibarat menaiki tangga, meski pendakian dimulai
dari bawah.
Dahulu, saat masih zamah
kerajaan, raja-raja di Bali pun, yang sembahyang ke Pura Besakih selalu
berhenti dan menambatkan kudanya didekat Pura Manik Mas. Lalu raja
diikuti keluarga atau pengiringnya berjalan kaki sembahyang dari Pura
Manik Mas. Setelah itu, barulah persembahyangan dilanjutkan ke atas.
Umat pun kini dihimbau agar
melakukan tata cara itu, meskipun banyak jalan sudah bias dilalui untuk
menuju pura di atas. Usai sembahyang dengan tujuan mohon izin (anugraha)
tangkil di Pura Manik Mas, barulah ke pura pedarman.
Berikutnya sesuai tujuan penangkilan, apakah ke pura yang termasuk caru
loka pala (empat pura yang memiliki palebahan besar mengelilingi Pura
Penataran Agung). Catur loka pala itu, yakni Pura Kiduling Kreteg, Pura
Batu Madeg, Pura Gelap dan Pura Ulun Kulkul.
Pura Besakih Hulunya Bali
Selain sebagai sentral, Pura
Besakih juga merupakan pura kahyangan jagat yang memiliki kedudukan
paling utama di Pulau Bali. Dalam Lontar Padma Bhuwana, Pura Besakih
dinyatakan sebagai huluning Bali Rajya. Artinya, Pura Besakih dinyatakan
sebagai huluning Bali Rajya. Artinya, Pura Besakih sebagai hulunya
derah Bali atau jiwanya Pulau Bali. Hal ini sesuai dengan letak Pura
Besakih di sebelah timur laut Pulau Bali. Timur laut adalah arah gunung
dan arah munculnya matahari sebagai symbol kehidupan. Gunung symbol
sumber mata air dantimur adalah arah terbitnya matahari. Tanpa air dan
sinar matahari,tak ada tumuh-tumuhan dan makhluk lainnya yang bias
bertahan hidup. Sedangkan tumbuh-tumuhan adalah sumber makanan bagi
hewan dan manusia. Ini berarti, arah Pura Besakih adalah sumber
kesuburan dan kemakmuran daerah Bali.
Pelinggih yang paling utama
di Pura Besaih menurut tokoh Hindu di Bali, Drs. I Ketut Wiana, M.Ag,
adalah Padma Tiga. Di pelinggih Padma Tiga ini, menurut Piagam Besaih,
Tuhan dipuja sebagai Sang Hyang Tri Purusa yaitu Tuhan dalam
kemahakuasaan-Nya menjiwa Tri Bhuwana. Sang Hyang Para Siwa yaitu Tuhan
sebagai jiwaSwah Loka. Sang Hyang Sada Siwa yakni Tuhan yang menjiwai
Bhuwah Loka dan Sang Hyang Siwa Tuhan yang menjiwai Bhur Loka.
Tujuan pemujaan Sang Hyang
Tri Purusa ini dinyatakan dalam kutipan Wrehaspati Tatwa yang intinya
memajukan kehidupan spiritual umat Hindu. Pelinggih Pada Tiga ini berada
di mandala kdua Penataran Agung Besakih. Penataran Agung Besakih ini
dibagi menjadi tujuh mandala. Mandala pertama sampai kedua sebagai
gamaran proses bakti umat manusia pada Tuhan. Sedangkan mandala kedua
sampai ketujuh sebagai gambaran proses Tuhan mengaruniai (sweca)
umat-Nya yang bhakti itu. Jadi, di Padma Tiga itu dilukiskan bertemunya
bhakti kelawan sweca. Dalam Wrehaspati Tattwa Sloka 11 dinyatakan bahwa
Padmasana itu adalah bangunan suci sebagai media memuja Tuhan sebagai
Sang Hyang Siwa.
Dalam kompleks Pura Besakih
ini Tuhan juga disimbolkan wyapi wyapaka (berada di mana-mana) yang
diwujudkan dalam bentuk pura. Di timur Pura Gelap, di selatan pura
Kiduling Kreteg, di barat Pura Ulun Kulkul, di utaraPura Batu Madeg dan
ditengah Padma Tiga. Kelima kompleks pura ini berada di areal yang
disebut luhuring ambal-ambal. Pura Ulun kulkul meskipun berada di areal
soring ambal-ambal, menurut Wiana, tergolong para luhuring amal-ambal
karena sebagai tempat pemujaan Sang Hyang Mahadewa.
Di kompleks Pura Besakih ini
alam semesta dilukiskan dalam berbagai dimensi sacral. Ada kompleks
pura tergolong berada di areal luhuring ambal-ambal, symbol Sapta Loka
atau alam Dewata. Ada juga kompleks pura yang berada di areal yang
disebut soring ambal-amal yaitu alam bawah sebagai symbol Sapta Petala.
Titik sentral luhuring ambal-ambal adalah di Meru Tumpang Lima dimandala
ketiga PenataranAgung yang disebut Pelinggih Kehen. Sedangkan titik
sentral soring ambal-ambal yaitu di Pelinggih Gedong berada di Pura
MerajanSlonding. Di areal luhuring ambal-ambal terdapat bangunan suci
sebagai media memuja Tuhan sebagai Sang Hyang Tri Purusa dan Sang Panca
Dewata.
Di soring ambal-ambal
pelinggih yang paling utama adalah Pura Dalem Puri, Pura Manik Mas, Pura
Bangun Sakti, Pura Basukian, Pura Pengubengan, Pura Rambut Sedana, Pura
Goa Raja, Pura Jenggala dan Pura Peninjoan. Tuhan yang menjiwai alam
atas disimbolkan di pura luhuring ambal-amal. Sedangkan yang menjiwai
alam bawah disimbolkan di pura soring ambal-amal. Keberadaan Pura
Besakih memvisualisasikan hubungan manusia dengan Tuhan, dengan sesame
manusia dan dengan alam semesta berdasarkan ajaran agama Hindu (Veda).
0 komentar:
Posting Komentar